Long Distance Relationship (Married)

Terpaksa menjalaninya untuk saat ini. Sekarang akhirnya benar-benar merasakan 3 kata tersebut dan rasanya amat tidak menyenangkan. Bagaimana tidak? , bukannya saya lebay, karena memang setelah menikah, banyak yang berubah dalam diri saya, diri suami dimana kami memang sangat intens kebersamaannya. Dalam segala hal tentunya. Gimana nggak? secara kami cuma berdua yang apa-apa serba saling ketergantungan satu sama lain. Full of bonding yang sangat menyenangkan tentunya. Apalagi kami adalah tipikal yang tidak pacaran sebelum menikah, tidak sama sekali. Kami adalah teman ga begitu kenal lalu menikah. (hehehehehe).

Tepatnya minggu ke 2 Juni , tanggalnya saya lupa. Saya menerima secara resmi surat ijin untuk cuti. Tak tanggung-tanggung, masa cuti saya bisa dibilang sangat panjang. Selain karena jam mengajar saya semenjak hamil yang tidak full sebagaimana saya sebelum hamil. Sebelum saya diserang oleh muntah-muntah kelas berat yang pernah mengharuskan saya bedrest selama 1 bulan lebih. Lalu, atas pertimbangan khusus dari kantor, saya memilih hanya mengisi dari setengah jadwal dan jatah saya mengajar, mau ga mau !.

Kembali kita bahas masalah cuti, saya dapat cuti itu kurang lebih 151 hari atau 4 bulan lebih lah,…waw banget kan!,… karena masa cuti saya bersamaan juga dengan libur semester, menghabiskan cuti tahunan dan cuti reguler untuk hamil dan melahirkan. Sampai suami juga terheran-heran dengan cuti sepanjang itu. Tapi saya, sayaa….langsung melow seketika. Itu artinya masa- masa ga bareng suami lama banget dan saya nggak sanggup sepertinya. Tapi suami tetap berpesan, untuk menikmati masa cuti dirumah bersama keluarga, manfaatkan sebaik mungkin. Tapi bagi saya, hampir 4 bulan itu terlalu panjang untuk berdiam diri di kampung halaman dan seperti orang yang lagi hiatus plus semedi seperti saat ini.

Saat ini memang masih ada beberapa aktivitas kantor dan beberapa pekerjaan kantor yang saya kerjakan secara online. Saya bener-bener harus pinter-pinter mengatur cuti panjang saya ini agar ga keburu bosan diawal. Sekarang saja rasanya sudah mulai bosan. Koreksi, konsultasi dari mahasiswa  masih saya layani via email atau whatsap, tapi memang hanya di jam-jam tertentu. Jika sudah dalam taraf yang bosan lagi, saya biasanya membuat prakarya dirumah, apalagi kalo bukan masak atau baking. Itu adalah hobi saya, walaupun ga bisa secara intens mendalami. Cek-cek resep, kemudian coba coba sampai berhasil, makan sendiri juga atau bareng keluarga. Hahahaha, gimana ga gendats ya? sudah hamil tua, hobinya masak pula.

Sisa waktu yang lain ya,…. apalagi kalo bukan gangguin suami via DM atau videocall atau chatting lainnya. Kangennya ga ketulungan. Khawatir sering menyelimuti, takut suami telat makan, galau sendirian (wkwkw) ataupun kelupaan sesuatu yang biasanya memang sepenuhnya saya yang menyiapkan. Maklum, suami saya tledornya minta ampun. Jadi ya memang sering banget harus menanyakan ini itu tentang dia, tentang rumah, tentang apa-apa yang harus disiapkan sampai detil bak introgasi. Selain juga dengan intens komunikasi bisa ngurangin kangen, walaupun cuma dikit kangennya berkurang.

Tapi mungkin bagi suami, kalo ga ada istri bisa bebas kali ya, ga kena omelan saya…walaupun kan omelan saya adalah omelan rasa cinta yang mendalam (pembelaan). Semoga sih disana selalu dalam keadaan sehat, aman, tenteram tanpa kurang suatu apapun. Syukur-syukur ga ada saya, suami tambah gendut, itu adalah kabar yang menyenangkan buat saya. Karena misi saya adalah menggendutkan suami untuk saat ini,..wkwkwk

Demikian pula saya yang disini yang dalam hitungan minggu ,inshaallah brojolan , alhamdulillah fisik saya masih enerjik , semuanya semoga berjalan dengan lancar tanpa kendala apapun. Disehatkan fisik si baby, diindahkan akhlaknya, persalinan normal tanpa sakit yang kata orang bikin meraung-raung. Lancar lah semua urusan-urusan kami. Aamiin

Itulah sekilas curhatan ga jelas ini, dikarenakan lagi boring koreksi skiripsi dan bikin jurnal. Sehat-sehat semua ya kawan. Nikmat Tuhan yang mana lagi yang akan kau dustakan?

Bye-bye, nanti sambung lagi….

BERLITERASI, ALTERNATIF AKSI NYATA MEMUPUK SEMANGAT EKONOMI KREATIF

Di era jaman now yang semakin menunjukkan taringnya, semua pada hakikatnya akan dinilai dari seberapa banyak materi yang secara fisik nampak yang mungkin menjadi syarat utama mapan atau tidaknya hidup kita.Untuk saat ini, mungkin itulah yang menjadi garda terdepan penentu makmurnya seseorang. Jika kamu merasa mungkin tidak setuju dengan hal itu, itu bukanlah masalah. Karena, memang setiap manusia akan memiliki pemikiran yang berbeda tentang standar kemakmuran dari berbagai segi yang berbeda pula.

Ditambah lagi dengan latar belakang pendidikan dan ilmu yang didapat rata-rata masyarakat indonesia adalah tergolong memiliki latar pendidikan yang tinggi. Itu artinya, mereka dinilai cukup paham dengan informasi-informasi yang setiap harinya masuk dari berbagai sumber baik online maupun media cetak, dari gadget yang kalian kantongi di saku setiap hari, dari postingan-postingan yang dipublikasikan. Jadi,kemudian apa yang harus diperbaiki? Ketika pola untuk menyebarkan informasi pada sesama sudah dibangun, pola untuk mengomentari sesuatu serta memberikan kritik sudah sering dilakukan dari berbagai aspek isu yang ada, lantas bukankah sudah ada dasar paket dimana kamu bisa menjadi seseorang yang bisa menyebarkan informasi dengan dengan baik, menyimpan dan mengolah informasi serta banyak yang sudah dikatakn ahli dalam membangun konten kreatif. Jadi, kamu punya bekal dan kamu adalah bagian yang bisa berperan besar dalam membangun literasi dan menguatkan minat baca itu. Yakan?

Apakah kamu puas dengan menjadi orang yang begitu-begitu saja tanpa progress? Cuma baca, diam saja dan tidak lagi berbuat apa-apa, apakah sudah puas dengan itu?

Jika kita berbicara mengenai apa yang telah didapatnya di bangku pendidikan,latar belakang pendidikan yang mentereng tetapi tidak sama sekali menularkan kebiasaan yang baik di dunia literasi yang luas dan tak berujung ini, lalu bagaimana?

Harusnya kita memiliki jawaban yang seragam, bahwa memang semenjak usia dini sekalipun, budaya membaca, mengenalkan dan aktif kepada literasi dari hal hal yang sederhana hingga mengembangkannya menjadi lebih luas dalam arti yang positif dan bermanfaat untuk orang lain tertanam dalam setiap individu, apalagi untuk yang sudah paham, harusnya itu sifatnya WAJIB!. Harusnya itu sudah seperti menjadi fungsi otomatis yang harus dimiliki setiap orang, tanpa dipaksa tanpa ada yang harus mengingatkan berulang. Kenapa demikian.? Seberapa bayaran yang berharga dari menerapkannya ?

Sebelumnya, saya ingin memaparkan kisah yang amat sederhana dan harapannya dapat memberikan sedikit gambaran , sukur-sukur bisa menjadi motivasi dan renungan serta memiliki pemikiran “ kenapa tidak saya lakukan dari dulu.”

Ingatkah tenman-teman tentang keberhasilan J.K Rowling dengan Harry potter yang hampir seluruh judul bukunya menuai kesuksesan yang tidak murah. Tidak menunggu lama, dengan racun alur cerita dan tangan kompetennya dalam menulis , JK Rowling bisa menopang hidupnya, bahkan ingin bermewah mewah sekalipun bukan jadi masalah lagi baginya. Lagi-lagi mendulang kesuksesan dengan buku, kita tahu penulis terkenal di Indonesia sekelas Dewi “Dee” Lestari. Ragam buku dengan kisah-kisah unik dan gaya bahasa yang nyentrik disuguhkan. Berpuluh puluh buku terbit, lagi lagi Dewi Lestari mendulang kesuksesan dari karyanya, sekali lagi taraf hidup ditopang dari encernya otak seorang Dewi Lestari. Asma Nadia, Tere liye, Raditya Dika pun hampir memiliki kisah serupa. Selain itu beberapa penulis sukses lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu disini. Lalu apa kaitannya?

Sudah sampai ada yang sejauh itu mereka menularkan budaya literasi yang mereka kaitkan juga untuk meningkatkan perekonomian dengan cara yang kreatif. Sudah sampai sebesar itu mereka sebenarnya ingin menyampaikan betapa ada bayaran yang mahal atas usahamu membingkai sesuatu dengan kreatif dengan bekal literasi yang dimilikinya.

Jika memang pada setiap orang tertanam keinginan, bahkan memiliki kerangka berpikir yang sama dengan para penulis diatas, apa kemudian yang terjadi?

Bukankah itu salah satu penanda bahwa semakin dekatnya kita pada budaya literasi yang baik, cerdas juga semakin mendekatkan kita pada alternatif untuk mendulang hasil yang meningkatkan perekonomian individu tersebut. Terutama jika seseorang yang memiliki pengetahuan mumpuni kemudian dibarengi dengan semangatnya memupuk jiwa ekonomi kreatif yang tinggi, kemudian seragam dilakukan pada sebagian besar masyarakat kita?

Seberapa besar kemandirian ekonomi akan bisa dicapai? Sampai seberapa besar kita bisa menjadi penyalur semangat membangun literasi yang positif untuk masyarakat? . Jawabannya adalah sangat besar literasi memberikan sumbangsih yang besar untuk mendulang semangat memupuk ekonomi kreatif.

Semakin banyak yang kita tabung untuk generasi penerus dengan semangat literasi dan membangun serta mengemas kemampuan literasi menjadi salah satu alternatif membangun jiwa ekonomi kreatif. Itu artinya, akan membuat Indonesia semakin mandiri dan yakin SERTA percaya diri atas kemampuan yang dimiliki. Semakin banyak yang kau tabung dari ilmu yang kau peroleh dengan menjadi bagian yang kental di bidang literasi, akan semakin mengantarkanmu ke suatu era dimana kita menjadi masyarakat, individu maupun pribadi yang lebih peduli pada bangsanya.

A.T.U

 

Ngobrol Seru Soal “Bully” ? Saatnya Kita Buat Perbandingan.

Perubahan yang makin signifikan  terjadi pada sat ini. Abad ini menjadi titik benderang betapa makin majunya cara berpikir manusia hingga perubahan dari segi kultur maupun sikap hingga cara memandang sesuatu.Hal-hal yang dulunya tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang krusial,jarang menimbulkan masalah, bahkan kini malah menjadi trending “halu” yang tidak berkesudahan pembahasannya.

Why?. Apa yang terjadi ?. Apa yang ada di benak anda sekalian ketika satu orang dengan  orang yang lain tersebut memiliki perbedaan umur yang cukup signifikan, tapi membahas topik atau permasalahan yang sama yaitu seputar “bully” atau “bully-ing” .

Bukankah bully jika diterjemahkan dalam google translate memiliki arti : gertakan; mengganggu; intimidasi; bahkan ada juga terjemahan yang mengandung arti ” mengutak-atikkan. Selain itu, anda juga bisa mencari artinya dalam KBBI yang memiliki makna yang hampir mirip dengan istilah dalam google translate tersebut. Saya sedikit membagikan cerita. Hal tersebut berkenaan dengan ingatan saya mengenai masa kecil saya. Saya memberikan contoh cukup pada diri saya saja agar lebih bisa menceritakan dengan detil. Saya tidak akan mengambil contoh kasus-kasus tentang bully yang sudah menyeruak di masyarakat  ataupun berkaitan dengan cyber bully yang sudah semakin menjadi trending topic.

Pada saat usia saya saat itu menginjak 13 tahun atau 14 tahun, persisnya saya lupa pada saat itu. Usia-usia Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang memang pada umur-umur  terdapat banyak adaptasi dari Sekolah Dasar yang masih menggunakan cara berpikir  sangat alami dengan pemahaman yang masih minim, otak tidak terkotori oleh apapun. Dari segi pertemanan pun, saya rasa anda pun juga akan mengalami banyak perbedaan ketika memiliki teman di SD maupun SMP. Jangkauan pertemanan pun juga mungkin berbeda. Saya dulu masih ingat, karena saat saya di SMP saya bersekolah di SMP yang berada  di area pusat kota / Kabupaten, dan memang pada saat itu sekolah tersebut merupakan sekolah favorit. Kalo anak SD di daerah saya, pasti yaa pengennya setelah lulus SD melanjutkan jenjang pendidikan di SMP tersebut. Karena  sekolah favorit itu merupakan SMP yang berada di Kabupaten, tentunya teman-teman saya berasal dari beberapa kecamatan yang berbeda-beda. Karena Kabupaten tempat saya sekolah SMP dulu amat luas areanya dan memiliki banyak kecamatan.

Apa yang tergambar pada saat saya menginjak SMP pada saat itu? saya anak yang amat polos. Setiap hari, yang saya ingat ketika sebelum menjadi siswa SMP adalah doktrin dan keinginan yang kuat dari Bapak dan Ibu agar bisa bersekolah di SMP tersebut. Tapi yang terpikir pada saya saat itu, sebenarnya kalo dibahasakan dalam istilah nyantai   : “bodo amat mau sekolah SMP dimanapun, yang penting saat SMP temennya tambah banyak dan bisa naik bis sampe agak jauhh dari rumah, kan nanti uang sakunya tambah banyak dari bapak dan Ibu. ” Itulah pikiran saya pada saat itu.

Mungkin, ya memang keberuntungan masih berpihak pada saya saat itu, nilai saya sangat mencukupi untuk masuk ke SMP yang favorit tersebut. Bapak Ibu saya berbangga pada anaknya yang bisa mendengarkan arahan orangtua, belajar giat kemudian masuk di SMP favorit.

Pada fase itu saja, ternyata memang “gap” cara berpikir antara orangtua dan anak pun dimulai. Faktor keberuntungan versus anggapan Bapak Ibu saya kalau saya benar-benar belajar giat. Ya belajar sih, tapi selow banget. Mager malah!. Teman-teman saya  les privat menjelang ebtanas, bangun sepertiga malam tahajud kemudian belajar. Kalo saya, boro-boro saya bangun…melek tetep di jam 04.30 ,atau menjelang subuh, ngriyep-ngriyep sedikit kemudian alesan ngulet tapi ngulet nya setengah jam. Habis itu baru nurunin selimut sholat subuh lalu mandi untuk ke sekolah.

Pada usia tersebut atau ketika saya menjalani masa sekolah SMP, jam masuknya cukup ekstrim ketika saya menginjak kelas 2 dan 3 SMP. Pukul 06.00 bel masuk kelas sudah berbunyi. Jadi dulu saya sudah mengalami yang namanya jam ke 0 (nol) itu sejak kelas 2 SMP. Jarak dari rumah ke sekolah itu 45 menit via bus umum ke Kota. Jadi saya berangkat dari rumah sekitar pukul 5.15. Tidak boleh bergeser dari waktu tersebut. Kalo bergeser ya telat, karena bis yang saya naiki pada saat itu memang bis yang setiap hari saya naiki dengan jam keberangkatan yang tetap. Persis seperti keberangkatan kalo sekarang bis Damri, sangat-sangat tepat waktu.

Mungkin jika dipikirkan sekarang, atau era itu dilakukan anak di usia sekarang, pasti banyak sekali protes dari orangtua, bahkan protes demi protes sampai ke birokrasi ( aiahh bahasanya tinggi amat, tapi ngerti khann) bakal berbondong-bondong datang. Dibilangnya menyiksa anak, anak kurang waktu lah dll. Tapi itu benar-benar dilalui anak-anak jaman “old”. Bagi kalian yang lahir di era 80 an, pasti mengiyakan. Setiap hari dari senin – sabtu  belajar dengan porsi 8 jam dari pukul 06.00-14.00. Pulang sekolah masih menyempatkan main encu atau sekedar mainan tanah liat di sawah sampai jam 5 sore. Kelewat dari jam 5 sore, mukanya Bapak di rumah sudah nggak ngenakin pada saat itu (peace ,pak, i love u lah pokoknya)…. . Harus bergegas mandi lalu baru makan. Saya dulu anaknya selalu melewatkan makan siang di sekolah biar hemat. Duitnya saya celengin buat beli majalah Formula One (F1) sama kasetnya westlife. Grothal gratul ngapalin lagu My Love nya Westlife sama berharap bisa lancar bahasa Inggris secara cepat dengan dengerin lagunya. Halu banget dah pokoknya.

Jadi dari hari ke hari memang anak-anak seperti saya memang sudah terprogram seimbang antara main dan belajar. Kalo saya banyakan mainnya sih, . Main sampe babak belur nyemplung kali, lutut ledes karena mainan petak umpet, gobag sodor dan mainan ekstrim kaya petasan cabe pun sudah biasa. Bermain dengan teman marahan, pukul-pukulan itu sudah biasa, marahan sehari habis itu join lagi. Saling mengatai satu sama lain habis itu sudah selesai ketawa ketiwi lagi. Jaman dulu kalau saling memberikan julukan satu sama lain itu ekstrim mungkin bagi anak-anak jaman sekarang. Biasanya dijuluki dengan nama bapaknya. Kalo nama bapaknya Karto misalkan, ya dia sering dengan iseng kami panggil Karto. Begitulah, sampai dari kurang lebih 40 siswa, lama-lama hafal nama bapak atau Ibu dari teman-teman semuanya.

Hal-hal tersebut dianggap sebagai hal yang sangat “fun”.Tanpa beban dan tidak dianggap sebagai sesuatu yang menyakitkan. Berteman maupun belajar di lingkungan sekolah selalu makin asyik. Kompetitif didapat, fun didapat, berbagi pun juga. ( potekan jajan sama temen hal yang lumrah, semangkok soto dibagi bertiga dan esteh segelas dibagi ber 4 sudah sangat biasa).

Sudah ya, saya cerita masa kecil saya. Kalo kata orang memakai istilah kekinian , saya memang tipe anak yang “gokil” . Gokil bandelnya tapi ya memang tipe anak yang fun dalam melakukan sesuatu. Ga pernah mau mikir yang berat-berat sejak kecil. Bahkan saat di SMP dituduh jadi salah satu yang “tertuduh” saat ada teman yang kehilangan dompet pun, bahkan bapak di panggil ke sekolah, saya tidak bereaksi apaun. Karena mungkin saya polos, atau entah apa yang saya pikirkan pada saat itu. Tidak membekas, tidak membalas,tapi kalo ditanya masih ingatkah tentang peristiwa itu? tentunya ingat. Tapi ya, hanya sekedar memori yang tidak memberi pengaruh apapun dalam diri saya.

Mari sekarang kita bermain komparasi. Kenapa harus begitu? karena saya memang salah satu orang yang gerah akan istilah “bully” khususnya istilah itu makin sering disebut untuk sekarang-sekarang ini. Banyak juga kasus dan rata-rata hampir 60%  bully terjadi di lingkungan pendidikan, berkaitan dengan anak-anak yang masih usia kecil dan malah semakin banyak yang mengalami.

Why?

benarkah sampai separah itu terjadi? kenapa ketika satu kasus tentang “bully”  tadi diatasi, itu tidak menjadi bahan kontemplasi bagi yang lain untuk tidak melakukannya? ataukah justru sesuatu yang buruk perlu dicoba untuk dilakukan, sampai kalau anda mengetik kata “bully” di mesin pencarian google, deretan kasus dan peristiwa seputar bully justru banyak bermunculan. Alias, efek jera yang diterapkan sebelumnya berarti gagal. Atau malah sebenarnya tidak ada obat yang mujarab untuk menghentikan “bully” tersebut.

Ada apa dengan  manusia jaman “now” dibandingkan dengan otak kaya saya yang termasuk jaman “old” ?

Sebenarnya sudah sampai separah apakah, atau sudah diperbincangkan sejauh manakah terkait dengan bully itu sendiri? sudah sampai seberapa banyaknya hal tersebut di broadcast hingga ketika berita tersebut bermunculan,kemudian  saling ditanggapi, saling berkomentar kemudian yang saling komentar malah saling memaki lagi. Ada apa atau apa yang ada di benak orang yang saling melempar komentar hingga harus saling melempar statement yang sifatnya menggertak atau sindiran kemudian kembali saling menyindir? hal itu berulang, membuat permasalahan tidak menemukan solusi, namun semakin panjang tak berkesudahan. Sifat asli kah? atau memang gemar meramaikan sesuatu yang seharusnya bukan pada tempatnya?. Trend? minim toleransi? krisis kesopanan atau apa lagi?

Apa yang ada di benak si “peng-capture moment”? (bahasanya amburadul banget ya, tapi paham kan maksudnya)

Seakan si peng-capture moment ini memiliki pemikiran yang sangat rumit hingga harus menyiarkan ulang sebuah perdebatan, hingga hal yang tidak wajar pun harus menjadi viral dan dilihat orang lain. Jika kita melihat lebih jauh, harusnya kita juga harus menggali lagi apa motif orang yang melakukan hal ini?

Dibahas berulang-ulang yang semakin membuat si orang yang menjadi korban semakin sering mengingat akan hal tersebut ( kejadian atau bully yang pernah terjadi). Hal itu yang dirasakan beberapa yang katanya jadi korban bully jaman “now”.

Bagaimana orang tidak merasa semakin trauma apabila ada pihak yang merekam ulang kejadian yang tidak ingin diingat, misalkan saja jika bully  itu sudah sampai ke taraf merusak kehidupan, mengganggu psikis, mengganggu dalam karir kedepannya, atau mempengaruhi atau berakibat buruk yang merambah ke keluarga dll. Kalau sudah begini, positifkah cara kemas ulang informasi di jaman “now” ini?

Tentang Cyber bully yang makin di “viral”kan seolah olah tidak ada lagi aktivitas positif  yang bisa dilakukan lagi?

Media yang makin canggih dapat mengantarkan kita ke dalam 2 sisi positif maupun negatif. Sama seperti yang sudah banyak kita dengar, bahwa jika bisa menjadi orang yang bisa memanfaatkan media dengan baik, kamu memang mungkin salah satu yang akan menggenggam dunia. Smart, cara berpikr maju dan semakin kompeten. Tapi bagaimana yang dia pihak atau orang atau kelompok yang salah mengambil sisi positif dari media yang makin berkembang? . Sesuatu yang paling banyak ditakutkan adalah, apabila pihak tersebut salah memahami dan terjerumus pada hal yang buruk seperti melakukan tindakan yang makin ekstrim, berinisiatif menjadi peretas (negative hacker) ataupun justru hal tersebut dipraktekkan dan menambah korban berkelanjutan. Parahnya, ada yang merekayasa lagi sebagai kemasan baru yang tidak terbukti kebenarannya. Kalau sudah begini, UU ITE sukseskah diterapakan? bisa kah cukup mumpuni menjadi payung hukum yang tepat? . Kenapa saya berpikir demikian? karena bully dan diviralkan itu terjadi berulang-ulang dan tidak ada reaksi atau pencegahan yang tepat secepat mungkin. Sudah meluas baru ditangani ??

Harus bagaimanakah kita memposisikan diri jika berkaitan dengan “bully”?

Walaupun sudah saya contohkan ada perbedaan cara berpikir jaman saya dengan anak yang lahir di era kekinian dengan teknologi yang serba canggih, harusnya memang pola pengasuhan yang harusnya diperbaiki. Kebiasaan yang tidak diarahkan pada sesuatu yang terlalu longgar. Anak jaman sekarang begitu bebasnya melihat dunia viral dan sosmed yang bersliweran. Tertular kawan atau teman yang terlalu hyper pada dunia teknologi sehingga bahkan usia dini pun sudah jadi peniru ulung.

Katanya blokir tapi akhirnya penuh ampunan?

( next topic)

to be-continue

 

Sit back, Relax and Enjoy the….

Berbahagia atas semua hal sekecil apapun yang kita dapat, jauh lebih berharga untuk saat ini. Karena kita hanya manusia biasa yang tak bisa menerka terlalu jauh apa yang akan terjadi nanti, besok, bahkan satu jam selanjutnya. Setiap orang membuat perencanaan serinci mungkin, harapan dan hasrat yang besar mereka torehkan satu persatu. Parameternya pun  berbeda-beda. Targetan manusia jaman sekarang amatlah tinggi. Tapi bagi saya? saya hanya ingin mensyukuri apa yang Tuhan berikan sampai di usia saya ini. Apapun itu!. Saya juga bahagia atas keberhasilan, targetan, kebahagian yang teman-teman saya, kerabat saudara maupun siapapun itu raih. Jika mereka bahagia, terlebih bahagia atas upaya yang tak mudah, bukankah itu sesuatu yang amat luar biasa.

Andaikan saya yang berada di posisi mereka, dengan segenap prestasi bahkan segudang impian yang terwujud, bukankah itu amat membahagiakan? . Tapi beda cerita apabila apa yang kita raih dengan susah payah kemudian dicemooh orang lain, itu amat menyakitkan. Terlebih kita tidak tahu bagaimana usahanya, sekeras apa dia mengupayakan. Manusia yang katanya hidup di jaman milenial seperti saat ini, ada yang miskin empati tapi ada pula yang berlebihan dalam menaruh simpati. Jika sudah seperti itu, julukan demi julukan , judge demi judge disematkan hingga pada akhirnya hanya menyakiti perasaan satu sama lain.

Saya mungkin masih terlalu menjadi orang yang sangat haus akan pahala. Bahkan saya manusia yang amat biasa saja, standar, masih pasang surut keinginannya. Untuk sekedar menyematkan atau menyakiti walaupun sedikitpun rasanya tak bisa lagi keluar dari mulut saya. Itu berarti saya pernah menyakiti orang lain bahkan disakiti? tentunya pernah, sangat pernah!. Bahkan terkait pesan maupun interaksi di sosial media pun , rem yang begitu besar yang sekarang saya terapkan. Saya lebih memilih diam atas semuanya. Dikatakan menjadi pasif atau tak peka lagi pun akan saya terima dengan sangat lapang dada. Karena saya memang tidak bisa lagi se agresif “mereka”. Saya harus tau di jalur mana saya harus bicara, tau apa yang harus saya tulis dan menempatkan diri.

Setiap yang kita lakukan, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, apabila menorehkan kebaikan bahkan selalu diingat, merupakan aliran pahala yang tak ternilai. Bahkan semua yang katanya hanya kebaikan sebutir sawi pun, balasannya juga amat luar biasa. Bahkan  dalam islam, setiap yang kita lakukan, ibadah-ibadah kecil sekalipun, itu menjadi penolong kita menyebrangi jembatan akhir kehidupan kita kelak.

Ibaratnya, saya sekarang hanya ingin menjadi seperti segelas coklat hangat yang bisa dinikmati siapapun, untuk teman mereka berbicara, untuk teman mereka meluapkan keluh kesah. Bahkan bisa menjadi teman saat seseorang merasa sendiri sekalipun. Coklat yang bisa menghangatkan waktu walapun hanya segelas dan  hanya 30 menit menikmatinya. Tapi jika yang hanya 30 menit itu dilalui dengan syukur, itulah yang akan menjernihkan pikiran kita.

Jadi, mau se ambisius apapun kita, mau sekeras apapun kita menaruh ego, sebesar apapun yang kita impikan, jika ternyata bisa saja hanya lenyap sekejab, terjegal karena Allah lah yang bisa membolak balikkan hati kita, kemudian kamu mau apa?

Asli, Mari Kembali Menggebu-gebu!

Hai yang pada pulang malmingan, ….hehehe

Saya merasa sangat rileks ketika mengerjakan sesuatu atau mencurahkan sesuatu di jam jam sekarang. Niat saya sih bukan jadi kalong, tapi karena ada beberapa hal yang harus saya kerjakan, jadilah harus ngalong. Guys, buat ente2 pade..kalo ga penting-penting amat jangan pada begadangan ya, ga baik buat kesehatan, trutama pencernaan ( lambung), jantung, ginjal . Wkwkwkw, bukan sok menggurui, tapi seriusan, saya pernah merasakan kondisi yang gak baik dengan organ-organ tsb akibat kecanduan begadang. Minimal kalo lu pade punya maag, itu biasanya nambah parah kalo hobi begadang, pcaya deh ama gw. 😀

Ini pun, terpaksa ngalong karena lagi meruncingkan pedang buat perang. Asli perang..,,hahahaha. Saya sedang getol-getolnya mempelajari sesuatu untuk meraih sebuah kepuasan dan kemenangan,..haha,..apaan siih!. Doain ya guys. Maklumlah, ketika kita tu punya sahabat-sahabat, saudara atau keluarga yang dia punya mental kompetitif, itu nular banget ke saya. Sampai sekarang pun saya anggap itu hal yang amat memecut saya, dengan kata lain ,mereka berhasil menulari saya virus ajaib bahwa saya juga bisa melesat lebih baik.  Positif banget!!!

Apasih yang bikin saya se menggebu gebu ini? sederhana saja, saya cuma obsesi untuk naikin grade saya dibidang penulisan ilmiah, jurnal dan publikasi-publikasi komersil saya yang lain. Emang sih, kalo pada nyimak tulisan di blog saya sebelumnya, saya sempat mutungisasi untuk nulis. Omaygat, nyesel sumpah serapah kaya begituan,..asli. Karena nyatanya saya emang harus punya full energy untuk hal tersebut. Selain karena tuntutan profesi, ya karena duit,.loh..wkwkwkw ( becanda). Hal itu karena ngasah skill banget guys, asli!.

Masa udah kuliah jauh-jauh, dulu kuliah sambil kerja dan bolos  ngumpet ngumpet buat ngejar kuliah malam, hobi naik KRL dari Depok ke Salemba menjelang tengah malam, begadang TA dll ilmunya ga kepake sih? sayang disayang lah,…

Kalo kuliah lagi sih emang ga pernah dapat restu, tapi setidaknya kalo saya rutin produksi tulisan ( haha, kaya telor aja produksi) minimal itu ada gunanya lah buat orang lain. Siapa tau nanti kalo publikasi sudah menggunung,dibolehin sekolah lagi gitu dari orangtua #kodekeras. Doain aja ya.

Udah gitu aja. Oh ya, FYI bagi temen-temen peminat information technology, knowledge management , jurnalist , dunia kapita selekta atau dasar-dasar penelitian bisa follow saya di academia.edu yaa,..silakan baca2 tulisan yang masih ala2 remahan kremes alias amburadul punya saya, siapa tau menginspirasi, di download juga boleh. Menginspirasi atau malah bikin pusing ya.. wkwkwk. Atau bisa juga cek di SSRN ( social science research network) tapi kalo yg itu sorry bgt berbayar guys…

Dah dulu ya, gitu aja..sruput kopi dini hari, bagi yang kebangun dari tidur ya met sholat malem.

Stay positive selalu. I love u to the moon and back…( ama siapa ya? )

Bye..

 

Benang Kusut di Penghujung Minggu

Ijinkan saya bercerita disini. Di lembar inilah saya bisa memanjangkan kalimat saya untuk mencurahkan apa yang saya tahan. Lagi-lagi lembar ini. Lagi-lagi keluhan? lagi-lagi curhatan? entahlah, untuk saat ini saya hanya ingin menuliskannya saja.

Apakah kamu tipe orang yang bisa bertahan dengan sebuah kondisi yang sebenarnya tidak ingin kamu lanjutkan?. Apakah kamu tipe orang yang mampu berusaha keras untuk meneruskan sesuatu yang justru sisi lain hati kecilmu mengatakan, bahwa harusnya kamu akhiri dari kemarin,kamu akhiri dari lama,tapi tak juga bisa mengakhirinya?. Itu jebakan kah? atau memang antara tapak perjalanan satu dengan perjalanan lain memang sudah selayaknya ada godaan baik dan buruk yang menggoyahkan kita. Entahlah, saya belum menemukan jawabannya. Saya belum bisa mencerna dan menyambung simpul simpul  itu dengan baik untuk menemukan pengertian dan makna dari bertahan itu sendiri. Sangat menyedihkan!

Apakah kamu termasuk orang yang beranggapan bahwa parameter sebuah keberhasilan berupa output yang memang jelas bisa dilihat oleh indra penglihatan?. Apakah memang standar itu yang masih dipakai sampai saat ini? Padahal seseorang yang mengalami pasang dan surut dalam hidupnya ingin didukung,ditenangkan dan dikuatkan dengan cara yang lain. Menyentuh hatinya,menguatkannya bila ia sedang lemah dan mendoakan tentang apapun yang jadi pilihan terbaiknya. Tak ada seorangpun yang bisa dengan mudah dihakimi. Hal itu,layaknya tertimpa gumpalan reruntuhan yang kadang tak sama ukurannya, tapi sama menyakitkannya, dan masih harus menerima “judgement” yang lebih menyakiti lagi. Setiap  orang punya akal, setiap orang memiliki keinginan untuk menimbang sesuatu yang dia rasakan berat. Beri dia waktu, dan berhentilah memprovokasi.

Seerat apapun sebuah hubungan persaudaraan dari manusia satu ke manusia yang lainnya, bukankah wajar jika memang nyatanya ada batas-batas. Batas tersebut adalah ruang kecil yang hangat tempat  bernafas lega tanpa ada bayang-bayang dan hasutan apapun dari manusia lain, bahkan saudara sedarah sekalipun. Di batas kecil itulah tempat dia merenung, menghangatkan diri dari dinginnya  interaksi sesama manusia . Celah itu tempat dia bermimpi tanpa ada yang akan menghakimi. Tempat itu biarkan jadi tempat terindah untuk dialog seorang manusia dengan TuhanNya. Tempat yang indah dimana dia bisa memeluk  mimpi-mimpi walaupun kadang  tak nyata.

Kita berada dalam sebuah perjalanan. Jika kadang langkah semakin berat, bisakah kau menjadi perantara Tuhan  lewat manusia-manusia lain untuk meringankan beban sesama ?

Apakah hal itu juga berkaitan dengan pilihan?, ataukah semua pasti merasakan menjadi perantara itu?

Kurang 2 Bulan Lagi…?

Bulan ke 11 menjelang bulan ke 12. Itu artinya kita sudah masuk lagi di penghujung tahun 2017. Satu digit lagi berubah menjadi 2018. Bisa jadi akan jadi tahun yang berbeda-beda untuk setiap orang, tapi ini merupakan tahun ajaib bagi saya.  Ajaib dan cenderung selalu menyisakan sebuah teka-teki tentang apa capaian serta dll nya it. Rumit untuk dijelaskan guys,..

Tahun ini tahun terakhir sepertinya saya bisa lalu lalang di rumitnya jalanan dan peri -kehidupan di ibukota. Yaa, sepertinya begitu. Tempat lain sudah menunggu dengan seribu kebimbangan menyapa ( heaaa) serta mau tidak mau ikhlas tidak ikhlas harus menepi. Daripada semakin menunda, semakin  berkali kali harus memikirkan lagi yang sama dari tahun ke tahun, akhirnya saya menyerah dan menepi.

Bukan karena sengaja menenggelamkan diri, tapi tempat yang baru kali ini menghadirkan segudang aroma baru. Saya harus kembali menjadi seseorang yang kembali pada track nya, tahu dimana tempat yang seharusnya saya pijak. Tempat peraduan dimana saya tidak beribu ribu kali dipisahkan terlalu jauh dengan kerabat, saudara. Karena apa? karena saya ribuan kali amat menyayangi mereka bahkan berlipat lipat daripada berambisi pada karir.

Apa yang saya tanggalkan selama ini harus saya tebus. Tak peduli sejatinya meninggalkan seseorang, beberapa orang atau apalah itu, seperti layaknya bisikan yang tak kunjung habis. Itu bagian dari resiko yang bahkan mereka pun paham, bagaimana jika di tahun berikutnya, tak ada kehadiran saya. Sekali lagi, ini tentang pilihan yang telah saya buat.

(cont_

Merawat Akal #2

Setiap manusia memiliki fase yang berbeda-beda. Dicetak berbeda, itu memang sebuah keunikan tersendiri. Sepanjang usia saya yang kepala dua plus plus ini, rasanya saya merasa harus memantau dan memperhatikan banyak hal. Tentang beberapa perubahan, tentang kekinian yang mungkin bagi satu orang itu mengganggu, tapi bagi orang yang lain merupakan hal yang biasa saja.

Hal ini saya tulis, mengingat saya hampir terlupa dalam beberapa tahun yang lalu, pada saat awal-awal saya bekerja di tahun 2011 di kantor saya yang pertama. Sebelum saya ditempatkan pada posisi yang sesuai dengan jobdesk saya yang sebenarnya, saya sempat menggantikan selama kurang lebih 6 bulan di divisi HR, yaitu salah satu divisi yang sangat menarik, sebuah divisi dimana salah satunya kita punya kesempatan mengulik dalamnya sebuah karakter dari resume. Walaupun tak bisa terlalu jauh mengulik juga, karena bisa saja itu mengandung privasi yang mungkin akan dijawab mengambang juga oleh si pemilik resume. Bedakan juga antara kita healing dengan menginterview juga khan,..

Saat itu, saya secara tidak langsung dan dalam waktu singkat mempelajari tentang dunia HR, dunia dimana inti besarnya adalah mengorganisir manusia dalam suatu wadah besar, pemasok manusia baru yang nantinya cocok dalam sebuah jabatan tertentu. Ketika itu, saya sedang menyeleksi manusia untuk posisi tertentu. Lebih jauh saya membaca resume nya, karena pada saat itu saya anggap si pemilik resume ini memiliki data diri atau gambaran singkat dirinya yang sangat menarik perhatian saya dan tim. Tapi, pada saat itu kami tidak langsung mengutarakan ketertarikan itu lebih jauh atau mendiskusikannya. Saya hanya menandai bagian yang saya anggap sebagai daya tarik tersendiri tersebut dengan bulatan tinta warna merah.

Sekitar tiga hari saya mengendapkan resume tersebut sampai pada hari dimana tim HR perusahaan pada saat itu membutuhkan untuk diskusi lebih jauh mengenaii kriteria-kriteria yang sudah kami kumpulkan dan diskusikan sebelumnya. Termasuk resume-resume yang sudah kami tandai itupun masuk dalam bahasan diskusi yang menarik dari 4 orang HR yang menyeleksi, itu sudah termasuk saya.

Point nya adalah, soal tata cara dan ciri khas masing-masing dari kami yang menyeleksi karakter-karakter tersebut. Cara kami menempatkan posisi kami sebagai reviewer yang berusaha lebih jauh untuk mengenal karakter dari masing-masing kandidat yang masuk. Tidak semua dari kami sepakat soal kriteria kandidat satu sama lain, dan itu sangat wajar. Tapi yang menjadikan catatan berharga kami saat itu adalah, terutama catatan berharga buat saya, ketika pada resume memang tercantum banyak sekali catatan organisasi yang dicantumkan, dan sempat proses tracking dari beberapa organisasi dilakukan.

Dari hasil tracking menunjukkan bahwa ada beberapa hal yang dianggap sebagai suatu hambatan dikarenakan dia masuk di bagian ini, dia bisa jadi akan resisten terhadap hal ini dan itu karena dia memiliki riwayat ini dan itu. Sebagai reviewer, pernahkan kamu mencemaskan tentang hal-hal tersebut? Dan wajarkah kecemasan tersebut?

Sampai saat ini saya masih bertantya-tanya dan menyimpannya dalam hati ketika memang ada segelintir orang yang mempermasalahkan tentang suatu hal yang dipandang resisten menurut beberapa orang, tapi orang tersebut juga tak mempunyai tolok ukur tertentu kenapa hal tersebut akan mengganggu jika dia sebenarnya memang masuk menjadi salah satu yang terbaik diantara yang lain. Ada yang berpendapat memang hal tersebut mengganggu, dalam artian di dalam catatan tersebut hanya bersifat mengganggu karena antipatinya salah seorang yang sebenarnya bukan esensi utama dan tidak perlu dianggap sebagai hal yang mengganggu. Sampai pada kondisi tersebut, pada akhirnya kita akan kehilangan obyektifitas pada wewenang kita, pada titik ini juga sepertinya kita satu langkah lebih jauh dan akan muncul tindakan yang sebentar lagi akan masuk pada tahap antipati, sensi dan berlanjut ke penurunan standar dan melanggar dari kesepakatan awal.

Kecemasan saya tentang hal-hal tersebut berlanjut sampai sekarang. Setelah sekian lama saya tidak lagi dan bukan bagian dr HR di perusahaan manapun, karena itu bukan desk saya yang sebenarnya, dan tidak mungkin lagi saya ditempatkan di desk tersebut. Saya cuma sempat memberikan catatan besar pada diri saya, selama hal tersebut tidak berkenaan dengan pelanggaran HAM, mengancam integrasi maupun keamanan,cacat hukum,rasis, bukannya hal-hal tersebut masih bisa dirundingkan?. Hal ini bisa jadi upaya yang besar untuk kita lebih bijak dalam berpikir, lebih obyektif dan tidak tertular sensitifitas yang berlebihan. Walaupun pada dasarnya, jika seseorang sudah pada titik dan mengatasnamakannya itu prinsip, akan susah juga menentangnya. Tapi, setidaknya bukalah sedikit ruang untuk mencari tahu lebih jauh, terutama dari karakter dan kompetensi asli, bukan pada latar belakang. Latar belakang itu bisa jadi yang pernah dijalani, yang pernah dilalui. Bisa saja itu merupakan catatan yang tidak akan lagi dilakukan di masa depan, atau itu hanya sebagai pengalaman dalam hidup. Terlalu dini jika kita menerapkan subyektifitas hanya diatas kertas bertuliskan data diri, kemudian menyimpulkan, tanpa menanyakan terlebih dahulu pada si pemilik data diri.

Itulah manusia, bagaimana cara manusia menilai sesuatu pun tak ada manusia lainnya yang tahu, bagaimana caranya memposisikan diri dengan orang lain, hanya individu itu yang tahu. Saat ini, opini saja bisa digiring oleh sebuah komunitas tertentu, bagaimana dalam proses menggiring tersebut, tentu mereka memiliki opini tertentu, yang pada akhirnya jadi opini publik dan bahkan viral. Padahal bisa saja itu hasil “giringan” . Sama juga ketika mengkondisikan sesuatu dan doktrinasi yang tiada habisnya bahwa kita harus resisten dengan hal bla bla bla, dan tanpa sengaja kita ikut dalam kondisi itu, hanya kekuatan pikiran dan akal kita yag bisa mengembalikan kemurniannya atau mengikuti, dengan kata lain ikut terhipnotis atau sesuai dengan pemikiran kita sendiri.

Jadi, sampai dimanakah kamu bertahan akan sesuatu, sampai terkadang kamu menggaungkannya ke banyak pihak bahwa sampai kapanpun akan memiliki prinsip ini dan itu dan resisten dengan ini dan itu. Kamu yang harus menjawabnya sendiri. Kamu yang harus merawat pikiranmu sendiri.

Jangan sensi kalau pada akhirnya ternyata itu cuma hal-hal yang basi!

Kapan? (ngomong sama diri sendiri)

Kalaupun ada orang selalu terbirit-birit berambisi terhadap sesuatu, itu wajar. Kalau tidak punya ambisi, kata orang ga akan berasa greget hidupnya khan,…bagaimana dengan anda-anda sekalian? 😀

Walaupun kita tidak bisa menjamin semua sesuai dengan apa yang kita mau, karena semua sudah ada dalam skenarioNya, dan kita juga tidak bisa mendikte Nya dengan cara apapun, dan kita harus cukup bahagia jika  masih bisa menjangkau angan-angan yang seakan akan bisa  terwujud, yang masih ada dalam jangkauan  walaupun hanya sebatas angan. Kadang, orang bangun tidur dan memimpikan hal yang indah saja sudah bahagia, apalagi kalau itu bisa terwujud? itu akan jadi kado indah spesial dariNya. Walaupun, dalam hati selalu menanyakan, kapan ya aku bisa begini, dan kapan ya aku bisa begitu? kapan kapan kapan dan kapan lagi. Dengan guyonan yang atos pula, kadang ada yang menimpali, “kapan kamu tidak bertanya lagi tentang kapan?”

“Kapan” itu juga bisa menjadi sebuah kata yang amat menjebak untuk banyak orang. Banyak yang bertanya tentang satu kata itu, dan akhirnya tak terjawab juga. Satu kata yang kita sendiri juga tidak bisa memprediksi kecuali seseorang diberi sebuah keputusan dan kepastian tentang suatu hal. Hanya itulah penakhluk dari satu kata yang aneh tersebut.

Sudah!, jangan baper tentang satu kata tersebut, bahwa memang kita sejatinya manusia masih diberikan jatah olehNya menanyakan suatu hal, membayangkan dan memimpikan tentang satu atau beberapa hal. Bisa jadi terwujud dan bisa jadi tidak. Jangan hakimi orang lain jika kata “kapan” itu akhirnya jawabannya meleset dari prediksi atau bahkan urung terwujud. Memangnya kamu siapa ,dapat menjatuhkan vonis itu?