Ngobrol Seru Soal “Bully” ? Saatnya Kita Buat Perbandingan.

Perubahan yang makin signifikan  terjadi pada sat ini. Abad ini menjadi titik benderang betapa makin majunya cara berpikir manusia hingga perubahan dari segi kultur maupun sikap hingga cara memandang sesuatu.Hal-hal yang dulunya tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang krusial,jarang menimbulkan masalah, bahkan kini malah menjadi trending “halu” yang tidak berkesudahan pembahasannya.

Why?. Apa yang terjadi ?. Apa yang ada di benak anda sekalian ketika satu orang dengan  orang yang lain tersebut memiliki perbedaan umur yang cukup signifikan, tapi membahas topik atau permasalahan yang sama yaitu seputar “bully” atau “bully-ing” .

Bukankah bully jika diterjemahkan dalam google translate memiliki arti : gertakan; mengganggu; intimidasi; bahkan ada juga terjemahan yang mengandung arti ” mengutak-atikkan. Selain itu, anda juga bisa mencari artinya dalam KBBI yang memiliki makna yang hampir mirip dengan istilah dalam google translate tersebut. Saya sedikit membagikan cerita. Hal tersebut berkenaan dengan ingatan saya mengenai masa kecil saya. Saya memberikan contoh cukup pada diri saya saja agar lebih bisa menceritakan dengan detil. Saya tidak akan mengambil contoh kasus-kasus tentang bully yang sudah menyeruak di masyarakat  ataupun berkaitan dengan cyber bully yang sudah semakin menjadi trending topic.

Pada saat usia saya saat itu menginjak 13 tahun atau 14 tahun, persisnya saya lupa pada saat itu. Usia-usia Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang memang pada umur-umur  terdapat banyak adaptasi dari Sekolah Dasar yang masih menggunakan cara berpikir  sangat alami dengan pemahaman yang masih minim, otak tidak terkotori oleh apapun. Dari segi pertemanan pun, saya rasa anda pun juga akan mengalami banyak perbedaan ketika memiliki teman di SD maupun SMP. Jangkauan pertemanan pun juga mungkin berbeda. Saya dulu masih ingat, karena saat saya di SMP saya bersekolah di SMP yang berada  di area pusat kota / Kabupaten, dan memang pada saat itu sekolah tersebut merupakan sekolah favorit. Kalo anak SD di daerah saya, pasti yaa pengennya setelah lulus SD melanjutkan jenjang pendidikan di SMP tersebut. Karena  sekolah favorit itu merupakan SMP yang berada di Kabupaten, tentunya teman-teman saya berasal dari beberapa kecamatan yang berbeda-beda. Karena Kabupaten tempat saya sekolah SMP dulu amat luas areanya dan memiliki banyak kecamatan.

Apa yang tergambar pada saat saya menginjak SMP pada saat itu? saya anak yang amat polos. Setiap hari, yang saya ingat ketika sebelum menjadi siswa SMP adalah doktrin dan keinginan yang kuat dari Bapak dan Ibu agar bisa bersekolah di SMP tersebut. Tapi yang terpikir pada saya saat itu, sebenarnya kalo dibahasakan dalam istilah nyantai   : “bodo amat mau sekolah SMP dimanapun, yang penting saat SMP temennya tambah banyak dan bisa naik bis sampe agak jauhh dari rumah, kan nanti uang sakunya tambah banyak dari bapak dan Ibu. ” Itulah pikiran saya pada saat itu.

Mungkin, ya memang keberuntungan masih berpihak pada saya saat itu, nilai saya sangat mencukupi untuk masuk ke SMP yang favorit tersebut. Bapak Ibu saya berbangga pada anaknya yang bisa mendengarkan arahan orangtua, belajar giat kemudian masuk di SMP favorit.

Pada fase itu saja, ternyata memang “gap” cara berpikir antara orangtua dan anak pun dimulai. Faktor keberuntungan versus anggapan Bapak Ibu saya kalau saya benar-benar belajar giat. Ya belajar sih, tapi selow banget. Mager malah!. Teman-teman saya  les privat menjelang ebtanas, bangun sepertiga malam tahajud kemudian belajar. Kalo saya, boro-boro saya bangun…melek tetep di jam 04.30 ,atau menjelang subuh, ngriyep-ngriyep sedikit kemudian alesan ngulet tapi ngulet nya setengah jam. Habis itu baru nurunin selimut sholat subuh lalu mandi untuk ke sekolah.

Pada usia tersebut atau ketika saya menjalani masa sekolah SMP, jam masuknya cukup ekstrim ketika saya menginjak kelas 2 dan 3 SMP. Pukul 06.00 bel masuk kelas sudah berbunyi. Jadi dulu saya sudah mengalami yang namanya jam ke 0 (nol) itu sejak kelas 2 SMP. Jarak dari rumah ke sekolah itu 45 menit via bus umum ke Kota. Jadi saya berangkat dari rumah sekitar pukul 5.15. Tidak boleh bergeser dari waktu tersebut. Kalo bergeser ya telat, karena bis yang saya naiki pada saat itu memang bis yang setiap hari saya naiki dengan jam keberangkatan yang tetap. Persis seperti keberangkatan kalo sekarang bis Damri, sangat-sangat tepat waktu.

Mungkin jika dipikirkan sekarang, atau era itu dilakukan anak di usia sekarang, pasti banyak sekali protes dari orangtua, bahkan protes demi protes sampai ke birokrasi ( aiahh bahasanya tinggi amat, tapi ngerti khann) bakal berbondong-bondong datang. Dibilangnya menyiksa anak, anak kurang waktu lah dll. Tapi itu benar-benar dilalui anak-anak jaman “old”. Bagi kalian yang lahir di era 80 an, pasti mengiyakan. Setiap hari dari senin – sabtu  belajar dengan porsi 8 jam dari pukul 06.00-14.00. Pulang sekolah masih menyempatkan main encu atau sekedar mainan tanah liat di sawah sampai jam 5 sore. Kelewat dari jam 5 sore, mukanya Bapak di rumah sudah nggak ngenakin pada saat itu (peace ,pak, i love u lah pokoknya)…. . Harus bergegas mandi lalu baru makan. Saya dulu anaknya selalu melewatkan makan siang di sekolah biar hemat. Duitnya saya celengin buat beli majalah Formula One (F1) sama kasetnya westlife. Grothal gratul ngapalin lagu My Love nya Westlife sama berharap bisa lancar bahasa Inggris secara cepat dengan dengerin lagunya. Halu banget dah pokoknya.

Jadi dari hari ke hari memang anak-anak seperti saya memang sudah terprogram seimbang antara main dan belajar. Kalo saya banyakan mainnya sih, . Main sampe babak belur nyemplung kali, lutut ledes karena mainan petak umpet, gobag sodor dan mainan ekstrim kaya petasan cabe pun sudah biasa. Bermain dengan teman marahan, pukul-pukulan itu sudah biasa, marahan sehari habis itu join lagi. Saling mengatai satu sama lain habis itu sudah selesai ketawa ketiwi lagi. Jaman dulu kalau saling memberikan julukan satu sama lain itu ekstrim mungkin bagi anak-anak jaman sekarang. Biasanya dijuluki dengan nama bapaknya. Kalo nama bapaknya Karto misalkan, ya dia sering dengan iseng kami panggil Karto. Begitulah, sampai dari kurang lebih 40 siswa, lama-lama hafal nama bapak atau Ibu dari teman-teman semuanya.

Hal-hal tersebut dianggap sebagai hal yang sangat “fun”.Tanpa beban dan tidak dianggap sebagai sesuatu yang menyakitkan. Berteman maupun belajar di lingkungan sekolah selalu makin asyik. Kompetitif didapat, fun didapat, berbagi pun juga. ( potekan jajan sama temen hal yang lumrah, semangkok soto dibagi bertiga dan esteh segelas dibagi ber 4 sudah sangat biasa).

Sudah ya, saya cerita masa kecil saya. Kalo kata orang memakai istilah kekinian , saya memang tipe anak yang “gokil” . Gokil bandelnya tapi ya memang tipe anak yang fun dalam melakukan sesuatu. Ga pernah mau mikir yang berat-berat sejak kecil. Bahkan saat di SMP dituduh jadi salah satu yang “tertuduh” saat ada teman yang kehilangan dompet pun, bahkan bapak di panggil ke sekolah, saya tidak bereaksi apaun. Karena mungkin saya polos, atau entah apa yang saya pikirkan pada saat itu. Tidak membekas, tidak membalas,tapi kalo ditanya masih ingatkah tentang peristiwa itu? tentunya ingat. Tapi ya, hanya sekedar memori yang tidak memberi pengaruh apapun dalam diri saya.

Mari sekarang kita bermain komparasi. Kenapa harus begitu? karena saya memang salah satu orang yang gerah akan istilah “bully” khususnya istilah itu makin sering disebut untuk sekarang-sekarang ini. Banyak juga kasus dan rata-rata hampir 60%  bully terjadi di lingkungan pendidikan, berkaitan dengan anak-anak yang masih usia kecil dan malah semakin banyak yang mengalami.

Why?

benarkah sampai separah itu terjadi? kenapa ketika satu kasus tentang “bully”  tadi diatasi, itu tidak menjadi bahan kontemplasi bagi yang lain untuk tidak melakukannya? ataukah justru sesuatu yang buruk perlu dicoba untuk dilakukan, sampai kalau anda mengetik kata “bully” di mesin pencarian google, deretan kasus dan peristiwa seputar bully justru banyak bermunculan. Alias, efek jera yang diterapkan sebelumnya berarti gagal. Atau malah sebenarnya tidak ada obat yang mujarab untuk menghentikan “bully” tersebut.

Ada apa dengan  manusia jaman “now” dibandingkan dengan otak kaya saya yang termasuk jaman “old” ?

Sebenarnya sudah sampai separah apakah, atau sudah diperbincangkan sejauh manakah terkait dengan bully itu sendiri? sudah sampai seberapa banyaknya hal tersebut di broadcast hingga ketika berita tersebut bermunculan,kemudian  saling ditanggapi, saling berkomentar kemudian yang saling komentar malah saling memaki lagi. Ada apa atau apa yang ada di benak orang yang saling melempar komentar hingga harus saling melempar statement yang sifatnya menggertak atau sindiran kemudian kembali saling menyindir? hal itu berulang, membuat permasalahan tidak menemukan solusi, namun semakin panjang tak berkesudahan. Sifat asli kah? atau memang gemar meramaikan sesuatu yang seharusnya bukan pada tempatnya?. Trend? minim toleransi? krisis kesopanan atau apa lagi?

Apa yang ada di benak si “peng-capture moment”? (bahasanya amburadul banget ya, tapi paham kan maksudnya)

Seakan si peng-capture moment ini memiliki pemikiran yang sangat rumit hingga harus menyiarkan ulang sebuah perdebatan, hingga hal yang tidak wajar pun harus menjadi viral dan dilihat orang lain. Jika kita melihat lebih jauh, harusnya kita juga harus menggali lagi apa motif orang yang melakukan hal ini?

Dibahas berulang-ulang yang semakin membuat si orang yang menjadi korban semakin sering mengingat akan hal tersebut ( kejadian atau bully yang pernah terjadi). Hal itu yang dirasakan beberapa yang katanya jadi korban bully jaman “now”.

Bagaimana orang tidak merasa semakin trauma apabila ada pihak yang merekam ulang kejadian yang tidak ingin diingat, misalkan saja jika bully  itu sudah sampai ke taraf merusak kehidupan, mengganggu psikis, mengganggu dalam karir kedepannya, atau mempengaruhi atau berakibat buruk yang merambah ke keluarga dll. Kalau sudah begini, positifkah cara kemas ulang informasi di jaman “now” ini?

Tentang Cyber bully yang makin di “viral”kan seolah olah tidak ada lagi aktivitas positif  yang bisa dilakukan lagi?

Media yang makin canggih dapat mengantarkan kita ke dalam 2 sisi positif maupun negatif. Sama seperti yang sudah banyak kita dengar, bahwa jika bisa menjadi orang yang bisa memanfaatkan media dengan baik, kamu memang mungkin salah satu yang akan menggenggam dunia. Smart, cara berpikr maju dan semakin kompeten. Tapi bagaimana yang dia pihak atau orang atau kelompok yang salah mengambil sisi positif dari media yang makin berkembang? . Sesuatu yang paling banyak ditakutkan adalah, apabila pihak tersebut salah memahami dan terjerumus pada hal yang buruk seperti melakukan tindakan yang makin ekstrim, berinisiatif menjadi peretas (negative hacker) ataupun justru hal tersebut dipraktekkan dan menambah korban berkelanjutan. Parahnya, ada yang merekayasa lagi sebagai kemasan baru yang tidak terbukti kebenarannya. Kalau sudah begini, UU ITE sukseskah diterapakan? bisa kah cukup mumpuni menjadi payung hukum yang tepat? . Kenapa saya berpikir demikian? karena bully dan diviralkan itu terjadi berulang-ulang dan tidak ada reaksi atau pencegahan yang tepat secepat mungkin. Sudah meluas baru ditangani ??

Harus bagaimanakah kita memposisikan diri jika berkaitan dengan “bully”?

Walaupun sudah saya contohkan ada perbedaan cara berpikir jaman saya dengan anak yang lahir di era kekinian dengan teknologi yang serba canggih, harusnya memang pola pengasuhan yang harusnya diperbaiki. Kebiasaan yang tidak diarahkan pada sesuatu yang terlalu longgar. Anak jaman sekarang begitu bebasnya melihat dunia viral dan sosmed yang bersliweran. Tertular kawan atau teman yang terlalu hyper pada dunia teknologi sehingga bahkan usia dini pun sudah jadi peniru ulung.

Katanya blokir tapi akhirnya penuh ampunan?

( next topic)

to be-continue

 

Leave a comment